Dalam dunia modern sekarang ini sains merupakan karunia tak tertandingi
sepanjang zaman bagi kehidupan manusia dalam menghadapi segala tuntutan
dan perkembangannya. Dan sudah menjadi kebutuhan manusia yang ingin
mencapai kemajuan dan kesejahteraan hidup, untuk menguasai dan
memanfaatkan sains sebagai prasyarat bagi kelangsungan hidupnya. Namun,
apakah kemajuan dan kesejahteraan hidup ini menjadi tujuan tunggal atas
penguasaan dan pemanfaatan sains?.
Pesatnya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagi hasil aplikasi
sains tampak jelas memberikan kesenangan bagi kehidupan lahiriah
manusia secara luas. Dan manusia telah mampu mengeksploitasi
kekayaan-kekayaan dunia secara besar-besaran. Yang menjadi permasalahan
adalah pesatnya kemajuan itu sering diikuti dengan merosotnya kehidupan
beragama (A. Sahirul Alim,1999:67).
Sebagai makhluk berakal, tentunya manusia juga sangat menyadari
kebutuhannya untuk memperoleh kepastian, baik ilmiah maupun ideologi.
Melalui sains, manusia berhubungan dengan realitas dalam memahami
keberadaan diri dan lingkungannya. Dan agama menyadarkan manusia akan
hubungan keragaman realitas tersebut, untuk memperoleh derajat
kepastian mutlak, yakni kesadaran kehadiran Tuhan. Keduanya sama-sama
penjelajahan realitas. Namun kualifikasi kebenaran yang bagaimanakah
yang diperlukan manusia, sehingga realitas sains dan agama masih sering
dipertentangkan? Untuk menyelesaikan ketegangan yang terjadi antara
sains dan agama dapat ditinjau berbagai macam varian hubungan yang
dapat terjadi antara sains dan agama. Namun, hendaknya terlebih dahulu
dipahami konsep dan paradigma sains menurut para ilmuwan. Secara
terminologi, sains berarti ilmu pengetahuan yang sistematik dan
obyektif serta dapat diteliti kebenarannya ( M. Ridwan, dkk, 1999:577 ).
Sedangkan menurut Achmad Baiquni (1995:5) mendefinisikan sains sebagai
himpunan pengetahuan manusia tentang alam yang diperoleh sebagai
konsensus para pakar pada penyimpulan secara rasional mengenai
hasil-hasil analisis yang kritis terhadap data-data pengukuran yang
diperoleh dari observasi pada gejala-gejala alam.
Melalui proses pengkajian yang dapat diterima oleh akal, sains disusun
atas dasar intizhar pada gejala-gejala alamiah yang dapat diperiksa
berulang-ulang atau dapat diteliti ulang oleh orang lain dalam
eksperimen laboratorium. Kata intizhar (nazhara) dapat berarti
mengumpulkan pengetahuan melalui pengamatan atau observasi dan
pengukuran atau pengumpulan data pada alam sekitar kita, baik yang
hidup maupun yang tak bernyawa. (Abuddin Nata, 1993:100).
Dalam mencermati konsep sains, Bruno Guiderdoni (2004:41) mengemukakan
pendapat yang disertai pula penalaran terhadap konsep agama. Dia
membedakan istilah sains dan agama dalam banyak definisi.
1. Bahwa sains menjawab pertanyaan “bagaimana”, sedangkan agama menjawab pertanyaan “mengapa”.
2. Sains berurusan dengan fakta, sedangkan agama berurusan dengan nilai atau makna.
3. Sains mendekati realitas secara analisis, sedangkan agama secara sintesis.
4. Sains merupakan upaya manusia untuk memahami alam semesta yang
kemudian akan mempengaruhi cara hidup kita, tetapi tidak membuat kita
menjadi manusia yang lebih baik. Sedangkan agama adalah pesan yang
diberikan Tuhan untuk membantu manusia mengenal Tuhan dan mempersiapkan
manusia untuk menghadap Tuhan.
Oleh karena itu, Ian G. Barbour (2002:47) mencoba memetakan hubungan
sains dan agama dengan membuka kemungkinan interaksi di antara
keduanya. Melalui tipologi posisi perbincangan tentang hubungan sains
dan agama, dia berusaha menunjukkan keberagaman posisi yang dapat
diambil berkenaan dengan hubungan sains dan agama.
Tipologi ini terdiri
dari empat macam pandangan, yaitu:
1.Konflik
Pandangan konflik ini mengemuka pada abad ke–19, dengan tokoh-tokohnya
seperti: Richard Dawkins, Francis Crick, Steven Pinker, serta Stephen
Hawking. Pandangan ini menempatkan sains dan agama dalam dua ekstrim
yang saling bertentangan. Bahwa sains dan agama memberikan pernyataan
yang berlawanan sehingga orang harus memilih salah satu di antara
keduanya. Masing-masing menghimpun penganut dengan mengambil
posisi-posisi yang bersebrangan. Sains menegasikan eksistensi agama,
begitu juga sebaliknya. Keduanya hanya mengakui keabsahan eksistensi
masing-masing.
2.Independensi
Tidak semua saintis memilih sikap konflik dalam menghadapi sains dan
agama. Ada sebagian yang menganut independensi, dengan memisahkan sains
dan agama dalam dua wilayah yang berbeda. Masing-masing mengakui
keabsahan eksisitensi atas yang lain antara sains dan agama. Baik agama
maupun sains dianggap mempunyai kebenaran sendiri-sendiri yang terpisah
satu sama lain, sehingga bisa hidup berdampingan dengan damai (Armahedi
Mahzar, 2004:212). Pemisahan wilayah ini dapat berdasarkan masalah yang
dikaji, domain yang dirujuk, dan metode yang digunakan. Mereka
berpandangan bahwa sains berhubungan dengan fakta, dan agama mencakup
nilai-nilai. Dua domain yang terpisah ini kemudian ditinjau dengan
perbedaan bahasa dan fungsi masing-masing.
3.Dialog
Pandangan ini menawarkan hubungan antara sains dan agama dengan
interaksi yang lebih konstruktif daripada pandangan konflik dan
independensi. Diakui bahwa antara sains dan agama terdapat kesamaan
yang bisa didialogkan, bahkan bisa saling mendukung satu sama lain.
Dialog yang dilakukan dalam membandingkan sains dan agama adalah
menekankan kemiripan dalam prediksi metode dan konsep. Salah satu
bentuk dialognya adalah dengan membandingkan metode sains dan agama
yang dapat menunjukkan kesamaan dan perbedaan.
4.Integrasi
Pandangan ini melahirkan hubungan yang lebih bersahabat daripada
pendekatan dialog dengan mencari titik temu diantara sains dan agama.
Sains dan doktrin-doktrin keagamaan, sama-sama dianggap valid dan
menjadi sumber koheren dalam pandangan dunia. Bahkan pemahaman tentang
dunia yang diperoleh melalui sains diharapkan dapat memperkaya
pemahaman keagamaan bagi manusia yang beriman.
Nah, mari berdiskusi sebaiknya hubungan antara sains dengan agama yang
bagaimana? (mengacu pada empat tipology di atas) atau dengan kata lain,
anda pendukung hubungan yang mana?? tentunya dengan alasannya.